Lukisan indah di pantai remen tuban Ini hanya cerita akan tetapi, andai ada kesamaan cerita buat para sobat aku mohon maaf. Aku hanya ingin memperkenalkan salah satu obyek wisata dari daerahku yaa.. pantai remen tuban, tepatnya pantai yang terletak di kecamatan Jenu Tuban ini salah satu obyek wisata unggulan dari daerah tuban yang sangat eksotis selain pantai Boom , pantai cemoro. ok aku mulai untuk sebuah cerita pendek .
Semburat merah keemasan di kaki langit mewarnai indahnya
senja Pantai remen tuban. Vin duduk termenung di atas bongkahan tembok yang
sekali-kali diterjang ombak kecil. Di sampingnya sosok tegap Mur (Fariel Mufidz
)ikut terbuai dalam keindahan Pantai remen senja itu.
Keduanya membisu. Terhanyut dalam sentuhan imajinasi yang
teramat romantis untuk dilukiskan sekedar dengan kata-kata.
"Vin, udah hampir malam. Pulang, yuk?!" Akhirnya
Mur angkat bicara. Vin menoleh sejenak. Tersenyum. Sejurus kemudian, tatapannya
kembali menerawang di atas hamparan laut biru. Enggan rasanya meninggalkan
pantai ini. Mur berdiri, meraih tangan Vin dan mengajaknya pulang.
Ayo. Ntar mama kamu marah. Udah hampir malam begini kamu
belum juga pulang."
Vin tersenyum, tak kuasa menolak tangan kekar Mur yang
setengah memaksanya beranjak dari tempat itu. Pulang.
Berdua mereka menyusuri pantai sambil sesekali memungut
kulit kerang dan melemparnya ke laut, menyisakan riak-riak kecil.
Vin sungguh menikmati kebersamaan ini. Meski dia sadar, tak
pernah sekalipun terucap kata cinta di antara mereka. Terlalu prematur menjalin
hubungan lebih dari sekedar sahabat. Ya, hanya sahabat. Itu sudah cukup bagi Vna.
Walau sebenarnya dia sendiri tidak yakin mampu menepis kemungkinan yang lebih
dari itu.
Mur adalah sahabat yang baik, juga kakak kelasnya yang
paling banyak membantunya selama ini. Meskipun Vin baru mengenal Mur tiga bulan
yang lalu, ia merasa cowok itu punya kharisma yang pantas dikaguminya.
Perkenalan yang teramat singkat namun berkesan bagi Vin. Mur
tampil membelanya ketika ia datang terlambat saat orientasi penerimaan siswa
baru di sekolahnya.
Kakak-kakak kelasnya yang melihat ekspresi gugup namun
sangat polos di wajah imoet Vin, berebutan menjatuhkan vonis untuknya. Vin
hanya bisa menatap satu-satu wajah mereka. Mata yang memelas memohon keringanan
hukuman atas keterlambatannya malah membuat kakak-kakak kelasnya semakin
bersemangat mengerjainya.
Tanpa sadar mata Vin berkaca-kaca. Dalam hati, perasaan
sedih, takut, malu dan gugup menyatu dan melemaskan sendi-sendi ketegarannya.
Ia hanya bisa tertunduk pasrah menikmati bentakan-bentakan kakak kelasnya.
Terasa sakit sekali!
"Semua bubar. Biar aku yang mengurusnya!" Sebuah
suara tegas penuh wibawa menghentikan eksekusi tak berbelaskasihan itu. Suara
milik Mur, Ketua OSIS yang kini berdiri tegak di hadapan Vin.
"Nama kamu Vin Rachmawaty, kan? Hmm... Nama yang bagus.
Aku panggil Vin aja ya?" Vin mengangkat wajahnya perlahan. Tetapi kembali
tertunduk.
"Maaf, Kak. Vin terlambat." Akhirnya Vin berani
membuka mulut. Sekilas ia menangkap dua kata yang tertera di atribut cowok itu,
Fariel Mufidz.
"Ya sudah. Kamu boleh masuk. Tapi melapor dulu sama
panitia dan tinggalkan atributmu di sana," Mur menunjuk beberapa siswa
yang duduk menghadap meja di pintu aula sekolah. "Jangan lupa temui aku di
ruang sekretariat OSIS pada jam istirahat."
"Terima kasih kak. Permisi!" pamit Vin sopan
sambil dan beranjak meninggalkan Mur. Dalam hati ia berjanji suatu saat bisa
membalas kebaikan Mur.
Tiga bulan berlalu, vin merasa sudah amat banyak yang
berubah dalam dirinya sejak masuk SMU. Ia merasa semakin dewasa dan memiliki
makna hidup yang lebih besar.
Kehadiran Mur walau hanya sebagai teman memberinya banyak
peluang untuk terlibat dalam berbagai kegiatan OSIS dan ekstrakurikuler di
sekolah ini.
Entah kenapa Vin merasa aman dekat dengan Mur. Ia ingin
Murlah orang pertama yang ikut merasakan suka dan dukanya. Teman berbagi yang
bisa menemaninya saat ia sedih, tertawa dan menagis.
Selama ini, mamalah yang menaunginya. Membelainya dan
memberinya arti tentang perjuangan untuk meraih semangat hidup. Sekarang ia
sudah dewasa. Bahkan lebih dewasa dari teman seumurnya. Besok, tanggal 5
september, umurnya sudah tujuh belas tahun.
Untuk kesekian kalinya Vin mendesah. Tangan mungilnya masih
sibuk menggerakkan sapuan kuas di atas kanvas. Sketsa yang tadi dibuatnya mulai
dibentuk menjadi seraut wajah lelaki setengah baya persis seperti foto yang
tergantung di dinding kamarnya. Foto papa!
Dua titik kristal bening menetes di pipinya. "Vin rindu
papa, Entah kenapa Vin merasa papa belum meninggal seperti yang diceritakan
mama. Akh andai Vin bisa melihatmu sekali saja. Vin akan senang, Pa. Vin nggak
bakalan menuntut apa-apa lagi. Cukuplah kehadiran papa. Itulah harta yang
sangat berharga. Vin sayang papa." Desahnya dalam hati.
Ditatapnya foto itu lekat-lekat. Mata yang begitu teduh.
Sepertinya Vin pernah melihatnya. Bahkan teramat dekat baginya. Tapi siapa ya?
Vin terus bertanya-tanya dalam hati.
"Lukisan yang bagus," Vin kaget. Ternyata mama
sudah berdiri di ambang pintu tanpa disadarinya. "Vin belum tidur?"
"Belum ngantuk, Ma," Vin berusaha menyembunyikan
perasaannya di depan mamanya. Ia ingin terlihat tegar.
"Tidurlah, sayang! Besok kamu masuk sekolah. Malu kan
kalau masuk sekolah dengan mata sembab kayak gitu?" Vin hanya diam.
Ditatapnya lekat-lekat mata mamanya, seakan mencari jawaban atas rasa
penasarannya selama ini. Dan yang didapati hanya satu. Mama menyimpan satu
rahasia yang tak ingin orang lain tahu. Bahkan Vin sekalipun.
"Vin boleh nanya sesuatu, ma?" Tanya Via perlahan.
Sesaat mamanya terdiam. Tetapi kemudian mengangguk. "Apa benar papa udah
meninggal?" Vin menatap wajah mamanya lekat-lekat.
"Vin pikir mama bohongin kamu?"
"Vin percaya kok sama mama. Cuma. Hati kecil Vin yang
sulit percaya. Sepertinya mama menyimpan satu rahasia. Ya Sampai sekarang mama
belum pernah cerita penyebab kematian papa. Dan di mana kuburan papa. Katakan,
Ma! Vin bukan anak kecil lagi. Vin yakin mama lakukan ini demi kebahagiaan Vin.
Mama rela berbohong demi Vin. Katakan, Ma!! Mama sayang Vin. Ya kan Ma?"
Vin mulai terisak sambil mengguncang bahu mamanya yang hanya diam berdiri
mematung. Tanpa disadari, dua titik Kristal bening menetes di pipi wanita itu.
Hening sesaat. Pandangan mama menerawang jauh. Menembus masa
lalunya yang pahit. Ekspresi wajahnya menunjukkan kalau ia tak ingin masa
lalunya terkuak kembali. Tapi, haruskah ia terus-menerus berbohong? Demi Vin,
buah hatinya. Miliknya yang paling berharga. Satu-satunya yang tersisa dari
keretakan rumah tangganya. Bagaimanapun Vin berhak tahu.
"Mama pikir, sudah waktunya Vin tahu semuanya,"
ujar mamanya nyaris tak terdengar. "Ikut mama! Mama akan memperlihatkan
sesuatu sama kamu." Tanpa banyak tanya Vin bangkit mengikuti mamanya.
Sebuah lukisan anggrek bulan terpampang di depan mata Vin.
Di sudut kirinya nampak foto papa dengan mata teduh dan senyum khasnya. Vin
memandangnya tanpa berkedip. Lukisan yang teramat indah dan hidup meski
framenya sudah retak di keempat sisinya.
"Hanya ini yang papa tinggalkan sebelum pergi. Lukisan
ini dulunya adalah hadiah ulang tahun mama yang ketujuh belas dari papa.
Sebenarnya ada dua. Tapi yang satunya ada sama papamu. Lukisan ini begitu
berharga buat mama." Sejenak mama terdiam. Menarik nafas dalam-dalam dan
menghembuskannya seakan-akan ingin melepas semua ganjalan di dadanya.
"Papa sekarang di mana, Ma?" Tanya Vin hati-hati.
Ditatapnya wajah mamanya. Mencoba mencari kejujuran di sana. Namun yang tersisa
hanyalah guratan duka menahun. Duka yang selama ini disembunyikan di wajah
tulus itu perlahan mulai terkuak.
"Mama nggak tahu. Selama ini mama mengarang skenario
kalau papa udah meninggal supaya kamu nggak bertanya terlalu jauh. Mama nggak
ingin masa lalu yang menyakitkan itu membayangi keluarga mama. Cukuplah mama
memilki kamu. Itu sebabnya mama mengikutkan kamu kursus ini dan itu supaya
kelak kamu bisa mandiri. Mental kamu sudah siap menerima kenyataan yang
menyakitkan sekalipun. Mama akui kamu butuh figur papa, meski mama telah
berusaha menjadi mama sekaligus papa bagi kamu."
"Kalau Vin boleh tahu, kenapa mama pisah sama
papa?" kejar Vin. Mamanya menunduk dalam-dalam. Berusaha menggali memori
yang telah dikuburnya dalam-dalam.
"Keangkuhan. Ya, waktu itu mama ditawari kerja dari
perusahaan berkelas internasional karena mama alumni Universitas terkenal di di
jawa timur. Papa nggak setuju. Katanya sepintar apa pun wanita, toh akan
kembali juga mengurus rumah tangga." Sekilas mama menelan ludah getir.
"Sejak itu, pertengkaran-pertengkaran kecil selalu menjadi warna rumah
tangga. Mama nggak nyangka kalau pertengkaran itu berbuntut perpisahan.
Seandainya ada yang mau mengalah. Kejadiannya nggak bakal seperti ini. Maafkan
mama, Vin! Sebenarnya mama pun sempat berpikir, mungkin ini hanya keputusan
emosional, lagipula saat itu mama mengandung kamu. Mama sungguh takut nggak
bisa membahagiakan kamu."
"Tapi mama masih mencintainya, kan?" Tanya Vin.
"Mungkin." jawab mama singkat. Terlalu berat
baginya memastikan perasaannya saat ini. Meski sadar selama ini dia berusaha
menentang kata hatinya.
"Kalau mama masih mencintai papa, kenapa nggak ada niat
kembali? Demi Vin, Ma. Demi Vin!! Mama tahu Vin butuh kasih sayang papa."
"Mama ngerti, Vin. Setelah perpisahan itu, mama kembali
ke Tuban, mencoba memulai hidup baru. Tapi mama masih berusaha mencari tahu
tentang keberadaan papamu. Sejujurnya mama nggak bisa melupakan bayang-bayang
papa, apalagi si kecil Dion yang baru berumur 2 tahun."
"Dion???" Tanya Vin penasaran.
"Kakakmu. Waktu itu pengadilan memutuskan Dion ikut
papa demi masa depannya. Dion. Oh Dion, Sekarang dia pasti sudah besar. Tapi
Dia nggak kenal mamanya mama yang mengandung dan melahirkannya." Desis
mama tersendat. Air matanya tak tertahan lagi. Hati Vin trenyuh. Hanyut dalam
tangis dan pelukan mamanya. "Sebenarnya mama pernah mencarinya tapi mama
kehilangan jejak mereka. Mereka meninggalkan Pekanbaru enam bulan setelah
peristiwa itu."
"Udahlah, Ma. Itu bukan salah mama. Vin nggak masalah
kok. Justru Vin harus berterima kasih sama mama. Mama terlalu banyak berkorban
untuk Vin." Ujar Vin menetralisir gejolak hatinya. "Oya, udah larut
malam nih. Vin besok ada ujian kuis. Vin tidur dulu ya!" Vin mengecup pipi
mamanya dan beranjak kembali ke kamarnya. Dia tidak ingin mamanya larut dalam
kesedihan yang dalam. Cukuplah, ia sudah tahu semuanya.
Jarum jam menunjukkan Pukul 00.05. Ponsel Vin berdering.
Siapa lagi yang menelpon malam-malam kalau bukan Mur.
"Happy Birthday, My dear! " Suara usil Mur dari
seberang. Vin terharu. Mur yang paling pertama mengucapkan selamat ulang tahun
untuknya.
"Thanks, Mur. You are the first to say happy birthday
to me." Vin tersenyum senang.
"Ooo. Im the first and may be the best." Mur
tertawa renyah.
"Anything else?"
"Oya. Besok, sepulang sekolah, kita singgah di rumahku.
Aku ada kejutan. Special for you. Aku tunggu di tempat parkir ya. Bye.!!"
Telpon diputus tanpa memberi kesempatan Vin bertanya lebih jauh.
Sepuluh menit Vin duduk menunggu. Sosok Mur belum juga
nongol. Vin jadi bete. Dalam hati ia menggerutu.
"Hai, My dear. Dari tadi?" entah dari mana
datangnya Mur sudah berdiri di sampingnya dengan mimik tanpa dosa.
"Dasar gilingan!! Aku sudah sepuluh menit menunggu.
Kemana aja sih?"
"Sorry, Non. Biasa, Asisten Pak Rizal. Habis bantuin
beliau bawa peralatan lab."
Detik berikutnya, Feroza violet milik Mur melaju di atas
aspal mulus, menembus rinai gerimis siang itu. Sepanjang jalan, vin lebih
banyak diam.
"Vin!" tegur Mur memecah kesunyian. "Mungkin
ini ultahmu yang pertama sekaligus terakhir yang bisa kita rayakan bersama.
Tahun depan papa rencana memboyongku ke Cambridge untuk kuliah di sana. Itu
berarti kita nggak ketemu lagi."
"Itu kan kesempatan, Mur. Kapan lagi bisa sekolah di
luar negeri. Sebagai teman dekatmu, aku ikut bangga, kok." Ujar Vin datar.
Meski hatinya menjerit. Bayangan kehilangan sosok sahabat sejati seperti Mur
menggiringnya pada suasana hati yang hampa. Tanpa Mur, tak akan ada lagi yang
istimewa. Hari-harinya hambar, tanpa tawa dan canda usil Mur.
"Masalahnya bukan itu, Vin. Aku takut kehilangan
kamu." Desis Mur lirih. Vin tersentak. Mur menyadari perubahan air muka
Vin. "Maksudku, aku menganggapmu bukan hanya sekedar teman, tetapi juga
sebagai adik yang mengisi kekosongan hari-hariku. Papa terlalu sibuk. Di rumah
aku nggak punya teman."
"Mama kamu?" Tanya Vin
"Mama?" Mur mengulang pertanyaan vin. "Mama
meninggal waktu aku masih kecil." Jawab Mur nelangsa. Vin sedikit menyesal
dengan pertanyaannya barusan.
"Sorry, Mur, aku nggak bermaksud membuatmu sedih."
"Nggak apa-apa kok, Vin. Aku justru senang kamu care
ama aku. Itulah sebabnya aku berat meninggalkan kamu." Sejenak Mur terdiam
seperti kehabisan kata-kata. "Oya, kamu ingin kado istimewa apa untuk
ultahmu?" Mur mencoba mengalihkan pembicaraan. Pamdangannya beralih ke
wajah imut Vin. Vian menggeleng.
"Aku nggak perlu sesuatu yang istimewa. Ucapan selamat
pun udah cukup. Cuman" Vin menggantung kata-katanya.
"Cuma apa?" desak Mur sedikit heran.
"Akh nggak kok." Vin menelan ludah. "Andai
kau tahu, Mur. Aku merindukan papa. Kalau saja papa bisa hadir bersamaku,
itulah kado paling istimewa. Dan hanya Tuhan yang bisa memberinya. Bukan kamu,
Mur. Bukan juga mama. Aku sungguh ingin melihat seperti apa rupa papaku yang
asli. Selama ini hanya foto yang bercerita padaku. Itu pun hanya sepenggal. Ya,
papa memiliki mata teduh, periang namun tegas. Hanya itu yang bisa diceritakan
selembar foto berbingkai di kamarku. Juga lukisan itu. Ya, masih ada satu, Mur.
Aku yakin papa orangnya romantis, berjiwa seni dan penyayang. Mungkin jiwa papa
seperti aku. Senang melukis dan sedikit melankolik. Lukisan indah di pantai
remen itu sedikit banyak juga berbicara tentang papa". Jerit batin Vin.
Selanjutnya Vin hanya membisu hingga perlahan feroza violet
itu memasuki pekarangan yang tertata rapi dan natural.
Dengan sedikit ragu, Vin melangkah memasuki ruang tamu yang
sudah didekorasi dengan sangat indah. Di tengah ruangan, di atas meja ada kue
tart dengan tulisan "HAPPY BIRTHDAY" berwarna biru berbaur dengan
warna merah muda.
"Apa-apaan ini, Mur?" Vin surprise. Keharuan
menyeruak ke dalam hatinya. Mur hanya tersenyum.
"Special for you. Kita rayain berdua ya? Ayo, sini tiup
lilinnya." Ajak Mur sambil menarik tangan Vin. Vin menurut. Namun
langkahnya tiba-tiba berhenti.
Vin terbelalak ketika tatapannya terbentur pada sebuah
lukisan anggrek bulan yang terpampang jelas di dinding ruang tamu. Tanpa pikir
panjang dia berlari mendekati lukisan itu. Di sudut kiri lukisan itu ada foto
papanya. Persis sama dengan lukisan di kamar mama. Ditatapnya sekali lagi tanpa
berkedip. Tidak salah lagi. Dia baru sadar, ternyata mata teduh itu, Oh Mata
teduh itu juga milik Mur.
"Itu lukisan dan foto papa. Kado ultahku yang ketujuh
belas dari papa. Kalau kamu suka, ambillah!" Mur tiba-tiba berdiri di
belakang Vin. Vin menoleh, Detik berikutnya ia menghambur kedalam pelukan Mur
yang masih terbengong-bengong.
"Kakak Diooooon!!!!!!"
pantai remen tuban |
pantai remen tuban |
pantai remen tuban |
pantai remen tuban |
pantai remen tuban |
pantai remen tuban |
Dan ternyata tanpa di sadari tanpa di duga Mur yang selama ini di kenal Vin sebagai kakak kelas sekaligus ketua Osis di sekolahnya adalah kakak kandung yang terpisah oleh keadaan orang tua yg bercerai pada saat mereka masih kecil dulu. Lukisan indah di pantai remen adalah hanya sebuah fiksi.
cerita ini hanya sarana saya untuk mengenalkan pariwisata di daerah tuban, dan
aku sebagai salah satu warga tuban biarpun secara tidak langsung ingin
memperkenalkan obyek pariwisata di daerah ini supaya di kenal dunia. Pemda
tuban yang membidangi pariwisata sudah mulai menggalakan promosi besar besara
akan potensi wisata alam ini. Sampai di
sini salam santun.
0 komentar :
Posting Komentar